Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Risiko yang Membayangi Proses Merger Bank Syariah Pelat Merah

Risiko yang Membayangi Proses Merger Bank Syariah Pelat Merah

BERITA ISLAM
Pada awal Juli, Kementerian BUMN mengumumkan rencana merger tiga bank syariah yang notabene anak perusahaan dari bank BUMN. Tiga bank syariah yang dimaksud adalah BRI Syariah (BRIS), BNI Syariah (BNIS), dan Mandiri Syariah (BSM). Setelah menjadi satu, bank-bank syariah ini diharapkan lebih besar dan kuat serta menjadi alternatif pembiayaan.

Langkah Kementerian BUMN itu pun membuat saham BRIS—yang yang merupakan surviving entity alias entitas penerima merger—dua kali menyentuh auto reject atas (ARA) di Bursa Efek Indonesia. Posisi BRIS memang sempat terkoreksi lagi usai pengumuman detail skema merger pada 20 Oktober 2020. Meski begitu, harga saham BRIS yang mantap di level Rp1.210 hingga akhir perdagangan Jumat, 23 Oktober 2020, tercatat masih menghijau 264,45 persen secara year to date (ytd) dari posisi Rp332 di awal tahun.

Wajar saja jika sentimen positif terhadap rencana merger itu terus berdatangan. Proses merger ketiga bank syariah yang ditargetkan rampung pada Februari 2021 itu akan memperkuat aset, modal, dan kapitalisasi pasar mereka.

Mengacu laporan keuangan semester I/2020, total aset yang dikelola ketiga bank syariah tersebut jika digabungkan akan mencapai Rp214,6 triliun. Akumulasi aset hasil merger itu bakal masuk ke peringkat 7-8 besar bank terbesar di Indonesia, serta 10 besar bank syariah dunia berdasarkan kapitalisasi pasar. Merger juga mengantarkan ketiganya masuk dalam kategori Bank Buku III—golongan bank yang modal intinya antara Rp5 triliun hingga Rp30 triliun.

Ketua Tim Project Management Office (PMO) sekaligus Wakil Direktur Bank Mandiri Hery Gunardi meyakini merger merupakan solusi tepat untuk menambah pangsa pasar perbankan syariah. Menurut Hery, bank hasil merger akan lebih efisien, memiliki modal lebih kuat, dan mendapatkan dana murah. Penyaluran dana yang lebih murah ini diklaim menguntungkan nasabah, terutama di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Indonesia adalah negara dengan populasi muslim yang besar. Harapannya lewat merger kami bisa memiliki bank syariah yang besar dan bisa bersaing di kancah global,” kata Hery.

Hal senada juga diutarakan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar pada Minggu, 25 Oktober 2020, Ma’ruf mengutarakan optimismenya bahwa bank syariah hasil merger itu akan punya kapasitas untuk mengembangkan aset mereka sampai Rp350 triliun pada 2025.

“Dengan penggabungan ini asetnya pada 2025 diharapkan bisa menjadi Rp 350 triliun sehingga mampu bersaing secara kompetitif di tingkat global,” kata Ma’ruf.

Meski demikian, bukan berarti tidak akan ada konsekuensi yang datang. Sejumlah risiko juga siap membayangi misi merger ketiga bank.

Dilema Dominasi BSM

Salah satu konsekuensi yang patut diperhitungkan terkait dengan pengaruhnya terhadap bank beraset lebih kecil dalam entitas hasil merger tersebut. Seturut riset S&P Global Ratings yang rilis pada 16 Oktober 2020, merger tersebut hanya akan mendongkrak kinerja Bank Mandiri yang kontribusi asetnya lebih dari 50 persen dalam entitas hasil merger.

"Karenanya kami berharap merger ini berdampak positif bagi profil bisnis Mandiri. Efek pada dua bank lainnya akan netral secara luas mengingat kontribusi aset syariah yang relatif kecil dan kepemilikan mereka yang lebih kecil di entitas yang digabung," tulis rilisan S&P Global Ratings seperti dikutip CNBC Indonesia.

Per semester I/2020, Bank Mandiri Syariah tercatat memiliki aset senilai Rp112,12 triliun. Jumlah aset BSM itu jauh melampaui aset BRI Syariah yang tercatat senilai Rp51,80 triliun dan BNI Syariah dengan aset Rp50,76 triliun.

Dalam pengumuman skema merger, PT Bank Mandiri Persero (BMRI) selaku perusahaan induk BSM bahkan telah ditetapkan sebagai pemegang saham mayoritas di bank hasil merger. Porsi kepemilikan BMRI setara 51,2 persen. Adapun sisa saham lain masih akan dipecah-pecah antara PT Bank Negara Indonesia Persero (BBNI) sebesar 25 persen, PT Bank Negara Indonesia Persero (BBRI) sebesar 17,4 persen, DPLK BRI-Saham Syariah sebesar 2 persen, PT BNI Life Insurance dan PT Mandiri Sekuritas (di bawah 1 persen), serta saham publik sebesar 4,4 persen.

Kondisi timpang tersebut berpotensi semakin memperkuat dominasi BSM atas dua bank syariah lain. Menurut Dosen Departemen Manajemen Institut Pertanian Bogor Mukhamad Najib, dominasi itu akan menjadi dilema ketika bank syariah hasil merger mulai menjalankan misi menambah pangsa pasar. Dominasi BSM bisa saja menghambat perumusan strategi ideal untuk menggerakkan regulator.

“Selain market education, untuk menghindari kegagalan tujuan merger dalam meningkatkan pangsa pasar, bank syariah juga perlu meyakinkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang kondusif agar kementerian, pemerintah daerah, maupun BUMN mau menempatkan uangnya di bank syariah,” kata Najib pada Sabtu, 24 Oktober 2020, lalu.

Sebagai catatan, laporan S&P Global Ratings menyebut saat ini pangsa pasar bank syariah di Indonesia masih mentok di rentang 6-7 persen. Menimbang besarnya kuantitas penduduk muslim di Indonesia, persentase pangsa pasar tersebut terbilang masih minim.

Menurunkan Tingkat Persaingan

Dominasi BSM itu baru perkiraan dampak negatif dari sisi efektivitas manajemen. Secara makro, merger ketiga bank syariah pelat merah itu juga berisiko menimbulkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat di segmen perbankan syariah. Saat ini, cuma ada 14 bank syariah umum (BSU) di Indonesia. Jumlah ini saja tergolong minim, apalagi bila nantinya terpangkas lagi jadi 12 BSU.

“Pemain di perbankan syariah ini kan belum begitu banyak, baik itu bank syariah atau unit usaha syariah itu. Jika digabungkan di BUMN menjadi satu, nah pemainnya nanti jadi berkurang lagi. Sehingga gairah dan persaingannya itu tidak cukup kondusif,” kata Direktur Riset Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah kepada Tirto.

Menurut Piter, pemerintah harus mempertimbangkan ekosistem karena jumlah bank syariah BUMN tidak banyak. Merger itu bisa memicu kecenderungan ke arah monopoli, mengingat dominasi ketiga bank di segmen perbankan syariah.

“Saya itu keberatannya untuk ini digabungkan. Biarkan saja ini terjadi supaya pemainnya ini bisa tetap lebih banyak dan lebih memacu persaingan, memacu dinamika yang lebih bagus sehingga perbankan syariah itu bisa tumbuh lebih cepat,” kata Piter.

Sebenarnya, Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah memberikan pengecualian kepada instansi pelat merah. Artinya, sepanjang masih berstatus BUMN, merger ketiga bank tidak bisa digagalkan dengan beleid ini.

Namun, pengecualian tersebut tak serta merta menjamin nasabah aman dari potensi kerugian. Sebab, dominasi atas kompetitor membuat bank hasil merger punya kemampuan lebih kuat untuk memengaruhi pasar.

“Praktik ke arah monopoli pada ujungnya akan rawan merugikan konsumen,” kata Piter.

Konsekuensi lain yang juga akan muncul akibat adanya merger adalah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tampaknya mustahil terelakkan.

Preseden ke arah sana pun sudah ada. Misalnya, bila mengacu rekam jejak merger empat bank yang melahirkan Bank Mandiri pada 1999. Saat itu, bank hasil merger hanya mampu menyerap 63 persen dari total tenaga kerja sebelum merger.

Meski begitu, Pemerintah berulang kali menjanjikan tidak akan ada praktik PHK dalam proses merger tiga bank syariah pelat merah kali ini.

“Penggabungan ini direncanakan tanpa adanya pemutusan hubungan kerja bagi karyawan dari ketiga bank tersebut,” kata Wapres Ma’ruf saat menghadiri diskusi virtual Best Syariah pada Selasa, 20 Oktober 2020.

Tapi, jaminan semacam itu belum bisa dibuktikan. Maka, patut dinanti apakah janji tersebut tidak akan jauh panggang dari api, seperti yang sudah-sudah.


Penulis: Ahmad Fauzan

Sumber: Tirto

Posting Komentar untuk "Risiko yang Membayangi Proses Merger Bank Syariah Pelat Merah"