Uighur: Kisah Shalat Jumat Yang Hilang
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
“Muslim…. Muslim…,” tanya petugas keamanan itu sambil mengitari saya. Entah apa maksudnya.
Sejenak kaget, sebelum saya jawab, “Alhamdulillah. Sure. I’m covering my head with scarf,” jawab saya pelan namun tegas sambil memegang ujung hijab yang saya kenakan.
Untuk kesekian kalinya kerudung saya jadi masalah di negeri ini. Kali ini di depan pintu gerbang Emin Minaret.
Pagi ini, destinasi pertama adalah Emin Minaret yang berada 2 km dari pusat kota Turpan. Emin Minaret merupakan bangunan peninggalan sejarah muslim Uighur yang masih bisa disaksikan hingga kini.
Menara dan masjid ini dibangun tahun 1777 untuk menghormati kemenangan Jenderal Emin Khoja, yang kemudian diangkat menjadi penguasa setempat, setelah berhasil memadamkan pemberontakan Junggar. Menara setinggi 44 m, berdiameter 10 m ini merupakan bangunan asli yang masih kokoh berdiri. Sedang masjidnya telah direnovasi karena bangunan aslinya hancur akibat gempa.
Selain masjid dan menara, di kompleks ini juga ada pemakaman Islam. Bentuk nisannya khas pemakaman di Asia Tengah. Saya menyaksikan banyak pemakaman serupa di Uzbekistan. Sesungguhnya, kompleks ini sangat luas, dahulunya ada istana yang sekarang masih bisa disaksikan reruntuhannya.
Di depan masjid berdiri patung Sulaeman Emin yang merupakan anak Emin Khoja. Sosok itu mengenakan gamis dan surban, bukan pakaian kebesaran seperti yang dipakai jendral-jendral Tiongkok. Sekali lagi ini adalah penegasan bahwa muslim Uighur memiliki akar sejarah yang berbeda dengan bangsa China.
Pemandu saya, Mr Chang tidak bisa menjelaskan terlalu banyak tentang sejarah bangunan ini, pun siapa itu Emin Khoja maupun anaknya. Pemerintah kota ini sepertinya setengah hati menggarap destinasi wisata yang terkait dengan Islam.
Sesungguhnya, Turpan sangat kaya dengan jejak sejarah Islam pada periode Jalur Sutra. Kota kuno ini menjadi perlintasan para kabilah yang masih eksis hingga kini. Sayangnya, sentimen anti Islam yang begitu tinggi membuat jejak sejarah yang luar biasa itupun coba dihapuskan.
Mr. Chang lalu mengajak kita ke plaza di depan masjid yang sangat luas. Dari ceritanya, lokasi ini digunakan untuk festival setelah Ramadhan alias perayaan Idul Fitri.
“Mereka shalat Ied di sini?” Tanya saya penasaran.
“Dulu iya. Sekarang tidak lagi. Hanya digunakan untuk festivalnya saja,” jawabnya.
Di gerbang masjid saya membeku. Bukan karena udara dingin minus 12 hari itu. Tapi ingatan saya melayang ke Mezquita di Cordoba, Spayol, yang saya saksikan 5 tahun lalu. Mezquita adalah Masjid Agung Cordoba yang kini difungsikan sebagai katedral. Nama Mezquita yang berarti masjid menunjukkan kalau bangunan itu dulunya adalah masjid.
Mihrab di Mezquita masih berdiri tegak bertulis kalimat Tauhid di atasnya. Namun, kini berbatas terali besi dan polisi-polisi yang bertugas menghalau siapa saja yang berusaha shalat di depannya.
Pagi ini saya menyaksikan hal serupa di belahan bumi yang berbeda. Di depan terlihat karpet merah membentang menutup lantai dan mihrab masjid yang dibatasi tali dan dijaga polisi. Pertanda tidak boleh dilintasi.
Mihrab yang gelap dan berdebu itu tampak menangis sendirian dalam kesunyian. Saya tergugu. Sekali lagi saya harus menyaksikan luka sejarah. Masjid-masjid yang tidak boleh lagi digunakan untuk bersujud dan menderaskan namaNya.
Polisi yang berjaga nampak mulai gelisah dan makin sering mondar-mandir di belakang saya yang masih saja terpaku memegang tali pembatas dan menatap mihrab di depan sana. Saya tundukkan kepala dalam-dalam dan sorongkan segala pinta ke pintu langit, “Ya Rabb, izinkan tempat ini kembali hangat dengan CahayaMu.”
Suara Mr. Chang memecah kesunyian mengajak saya dan Lambang ke bagian masjid yang lain, yakni tangga menuju minaret. Saya tanya, “Di mana tempat yang dulunya digunakan untuk berwudhu?” Ia menatap saya sejenak sebelum menjawab, “I have no idea,” jawabnya dengan muka polos.
Minaret yang tetap kokoh berdiri itu kini tidak boleh dinaiki lagi, karena telah lapuk dimakan usia. Saya membayangkan pastilah dulunya minaret ini digunakan para muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat lima waktu.
Dari plaza di depan minaret Mr. Chang menunjuk kompleks pemakaman Islam yang ada di bagian kiri masjid. Nisan berbentuk gundukan yang terbuat dari tanah merah terlihat memenuhi area itu. Jumlahnya sekitar lima puluhan. Ada satu-dua yang dinaungi bangunan di atasnya. Kalau orang Jawa menyebutnya cungkup.
Tidak jelas siapa yang dimakamkan di sana, karena semua nisan tak bernama. Tidak ada keterangan apa pun di kompleks pemakaman itu. Namun saya yakin, siapapun yang dikuburkan di sana pasti menangis pilu menyaksikan masjid ini sekarang mangkrak, tidak boleh digunakan untuk shalat dan dijaga ketat.
Mr. Chang mengajak kita segera melanjutkan perjalan, karena harus kembali ke kota Urumqi siang ini. Sebelumnya kita akan singgah dulu ke Karez Irrigation (kisah ini akan saya lanjutkan di Journey to Uighur-Xinjiang.
Hari ini hari Jumat. Saat sarapan tadi saya sempat mendiskusikan dengan Lambang akan shalat Jumat di Masjid Grand Bazaar di Urumqi. Perjalanan dari Turpan ke Urumqi memakan waktu sekitar 3 jam. Cukup waktu untuk mengejar shalat Jumat di Urumqi.
Secara fikih, mazhab Syafi’i tidak mewajibkan perempuan mengikuti salat Jumat, melainkan melaksanakan salat Dzuhur. Di Jakarta, saya jarang mengikuti salat Jumat karena memang mayoritas muslim Indonesia bermazhab Syafi’i sehingga tidak banyak masjid yang menyediakan shaf salat Jumat untuk perempuan.
Namun, setiap kali ke luar negeri dan bertepatan dengan hari Jumat, saya pasti akan ikut salat Jumat di masjid-masjid setempat. Kali ini pun saya ingin merasakan shalat Jumat bersama muslim Uighur.
Sampai di tempat parkir Grand Bazaar terlihat masjid besar di seberang jalan. Saya bertanya pada Mr. Chang, “Mengapa masjid itu sepi? Bukankah hari ini hari Jumat? Tidak ada shalat Jumat di sana?” Tanya saya.
“Sesuai peraturan pemerintah yang baru, tidak diperbolehkan lagi untuk shalat,” jawabnya singkat.
Innalillahi wa innailaihi rojiun…
Tadinya saya berpikir masjid-masjid besar yang ada di pusat kota masih dibuka untuk shalat Jumat atau shalat Ied. Di Tuyoq Valley dan Turpan bisa jadi ditutup karena merupakan kota kecil. Tapi di Urumqi, yang merupakan ibu kota provinsi, saya pikir masih ada masjid yang difungsikan. Tentu saja dengan kontrol ketat dari pemerintah setempat.
Ternyata, shalat Jumat pun sudah tidak lagi didirikan di sini. Saya bertanya dalam hati, apa yang sedang terjadi di negeri ini? Kemana para mujahid yang harusnya membela agama Allah? Bila shalat sebagai tiang agama tak ada lagi yang bisa menyangga, tak perlu menunggu lama sampai bangunan negeri ini akan rubuh dengan sendirinya.
Sejarah adalah peristiwa yang berulang. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi di masa sebelumnya, sebagai ibrah bagi orang-orang yang berpikir. Prof. DR. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia menuliskan: Apa yang terjadi di Andalusia 600 tahun lalu adalah apa yang terjadi di Palestine hari ini.
Kalimat itu sekarang bertambah menjadi: Apa yang terjadi di Andalusia 600 tahun lalu adalah apa yang terjadi di Palestine hari ini. Dan bukan tidak mungkin akan terjadi di Uighur esok hari.
Allahumma ‘a-izzal islama wal muslimina
Allahummanshur ikhwananal musliminal mujahidina fi Uighur
Allahumma tsabbit imanahum wa anzilis-sakinata ‘ala qulubihim wa wahhid shufufahum
Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum Muslimin.
Ya Allah, tolonglah kaum Muslimin dan Mujahidin di Uighur.
Ya Allah, teguhkanlah Iman mereka dan turunkanlah ketenteraman di dalam hati mereka dan satukanlah barisan mereka.
Urumqi,4 Januari 2019
(ROL)
Posting Komentar untuk "Uighur: Kisah Shalat Jumat Yang Hilang"