Utang Kemerdekaan kepada Para Lelaki Berjenggot
[PORTAL ISLAM] Beberapa waktu yang lalu, seorang pemimpin sebuah badan usaha milik negara di suatu daerah memerintahkan salah seorang stafnya yang berjanggut agar mencukur rambut yang menggantung di bawah bibir itu.
Entah apa yang ada di dalam benak sang kepala kantor sehingga dia begitu bersemangat mengeluarkan perintah demikian, padahal menurut kesaksian banyak staf di perusahaan plat merah itu, staf yang berjanggut itu cukup berprestasi. Janggut yang menjuntai sama sekali tidak mengganggu pekerjaan atau menakuti nasabah.
Lagi pula, sosok para lelaki berjenggot sesungguhnya tidak asing dengan kehidupan kita. Dalam komik atau cerita-cerita silat, seorang jagoan yang sakti mandraguna, seorang pertapa yang arif bijaksana, atau seorang suhu yang ilmu dan kearifannya melampaui kewajaran seorang manusia, selalu digambarkan sebagai seorang dengan janggut menjuntai.
Tidak percaya? Bacalah kembali, misalnya, komik Jaka Sembung karya Djair. Guru Jaka Sembung digambarkan sebagai seorang sepuh dengan janggut panjang di bawah bibirnya. Bacalah juga cerita silat karya S.H. Mintardja. Orang-orang sakti dan bijak, umumnya digambarkan berjanggut.
Juga dalam cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Sosok baik yang berlatar belakang Cina maupun Jawa dan menggambarkan orang-orang sakti, seperti Bu Kek Siansu atau Bu Pun Su, juga dinisbatkan dengan janggut (dan misai) menjuntai.
Pengecualian memang ada? Ya ada jelas. Tapi ini hanya ada dalam cerita silat karya Sebastian Tito, sebab guru Pendekar 212 yang sakti mandraguna adalah seorang perempuan bernama Sito Gendeng. Mana ada perempuan berjanggut?
Penyebar agama Islam di Jawa, Wali Songo, juga berjenggot atau janggut. Jadi, apa yang salah dengan janggut sehingga ada pemimpin perusahaan plat merah yang amat bersemangat menyerukan pembabatan janggut sampai ke akar-akarnya?
Janggut di Antara Para Pemimpin Kita
Okeh karena janggut telah hadir baik di dalam cerita maupun dalam kehidupan nyata, masyarakat pun tidak pernah memperdebatkan, apalagi seraya menarik urat leher, perkara janggut. Mau berjanggut silakan. Tidak berjanggut pun tidak apa-apa. Yang tidak berjanggut, mungkin saja lantaran rambut di bawah bibirnya cuma tumbuh satu-dua. Janggut yang cuma tumbuh satu-dua, alangkah astaga tidak menariknya jika dibiarkan tumbuh. Mencukurnya adalah pilihan cerdas.
Atau boleh jadi juga, seseorang ingin memelihara janggut, akan tetapi lantaran istri atau pacarnya tidak suka janggut, maka demi keserasian hidup sang lelaki memilih untuk berklimis ria.
Di kalangan para pemimpin pendahulu kita, janggut juga tidak pernah dipersoalkan benar. Siapa suka boleh berjanggut, siapa tidak suka boleh mencukur habis janggutnya. Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, K.H.A. Dahlan (1868-1923), berjanggut. Demikian juga pendiri Nahdlatul Ulama, K.H.M. Hasjim Asj’ari (1871-1947).
Tidak pernah kita membaca riwayat, pemerintah kolonial Belanda memerintahkan Kiai Dahlan dan atau Mbah Hasjim supaya mencukur janggutnya. Tidak pernah juga kita mendapat cerita, Hadratus Syaikh Hasjim Asj’ari dipaksa oleh balatentara pendudukan Jepang untuk membabat beliau punya janggut.
Di dalam Soeara Moeslimin Indonesia No. 7, 7 Rabiul Akhir 1363/1 April 2604, malah kita dapati foto dan berita K.H.M. Hasjim Asj’ari (yang berjanggut itu) dengan bersorban dan bergamis sedang beramah tamah dengan Panglima Tentara Jepang di Jawa.
Dalam keterangan foto antara lain ditulis: “Tuan Kiai Haji Hasjim Asj’ari dari Jombang (Surabaya), Pemimpin Besar MASYUMI berhubung dengan keangkatannya menjadi Jawa Hookoo Kai Komon, pada tanggal 18 Maret yang lalu jam 3.00 siang, beliau telah menghadap PYM Gunseikan untuk menyatakan terima kasihnya.”
Nah, jika tentara pendudukan Jepang yang terkenal kejam mampu bersikap ramah kepada ulama yang bergamis, bersorban, dan berjanggut; sungguh tidak bisa diterima akal sehat jika di zaman bebas merdeka, bahkan konon zaman reformasi pula, ada orang yang sungguh nyinyir kepada lelaki berjanggut.
Selain mereka, ada pula sosok yang berjanggut, ada pula yang cuma berkumis seperti Bapak Nasionalisme Indonesia, H.O.S. Tjokroaminoto. Ada pula yang klimis, tanpa janggut dan kumis seperti Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan banyak tokoh pejuang kemerdekaan lain. Berjanggut atau tidak berjanggut sejak zaman dahulu kala tidak pernah dipersoalkan.
Kisah orang berjenggot di sekitar proklamasi
Terkait soal jenggot atau janggut, coba masuklah ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Di sana kita akan berjumpa dengan patung tiga tokoh yang sedang merumuskan naskah proklamasi: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo.
Yang menarik, Soebardjo ternyata berjanggut! Siapakah Soebardjo yang berjanggut itu? Apakah dia alumni Timur Tengah, alumni Afghanistan, pengikut Wahabi, pengikut Salafi? Apakah lelaki itu terpapar radikalisme?
Dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 22 Mei 1945-24 Agustus 1945 didapat keterangan bahwa Raden Ahmad Soebardjo dilahirkan di Karawang pada 23 Maret 1897. Soebardjo menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), Hoogere Burger School (HBS), dan Universitas Leiden, Belanda, bagian hukum (Diploma Mr in de Rechten, 1933). Soebardjo tercatat sebagai anggota BPUPKI dan PPKI yang merumuskan Undang-Undang Dasar. Soebardjo juga tercatat sebagai salah seorang anggota Panitia Sembilan yang menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Peran strategis Soebardjo menjelang proklamasi ialah ketika dia menjemput Bung Karno dan Bung Hatta dari tempat pengasingannya di Rengasdengklok. Soebardjo adalah Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presiden Sukarno, dan Kabinet Soekiman Wirjosandjojo.
Selain Soebardjo, tokoh berjanggut yang lain di sekitar kemerdekaan, siapakah lagi jika bukan Haji Agus Salim. Lelaki kelahiran Kota Gadang, 8 Oktober 1884 ini, sama seperti Soebardjo, menempuh pendidikan di ELS dan HBS. Selanjutnya Salim belajar secara otodidak hingga menguasai sembilan bahasa. Salim adalah anggota BPUPKI, anggota Panitia Sembilan, Wakil Menteri Luar Negeri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Sjahrir.
Peran strategisnya bagi tegaknya kemerdekaan Indonesia ialah keberhasilannya memperoleh pengakuan de facto dan de jure dari Mesir bagi kemerdekaan Indonesia.
Pria berjanggut lain yang besar peranannya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia ialah Mr. Ali Sastroamidjojo (1903-1976). Ali pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan, dan Menteri Pendidikan. Lelaki berjanggut ini dua kali menjadi Perdana Menteri yaitu pada 1953-1955, dan 1956-1957. Di bawah kekepemimpinannya, pada bulan April 1955 Indonesia berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung. Konferensi inilah yang memotivasi negara-negara di Asia dan Afrika untuk merebut kemerdekaan.
Sayang, prestasi gemilang Perdana Menteri Ali ini tertutupi oleh wibawa Presiden Sukarno sehingga sejarah pun mencatat Konferensi Bandung itu sebagai prestasi Presiden (Konstitusional) Sukarno.
Sekitar tahun 1923, Haji A. Salim mulai melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir komunis di tubuh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tentu saja langkah Salim itu mendapat tantangan dari koran-koran komunis seperti Soeara Rakjat dan Api. Tidak jarang kedua koran itu mengejek dan melancarkan serangan bersifat pribadi kepada Salim.
Dalam suasana seperti itu, ketika Salim menghadiri rapat umum, Sutan Sjahrir dan kawan-kawan mudanya mendatangi tempat Salim berpidato. Bukan untuk mendengarkan, tetapi untuk mengganggu. Ketika Salim sedang berpidato, Sjahrir dan kawan-kawan secara bersama-sama berteriak: “Mbeek…. Mbeek…”
Mendengar teriakan itu Salim yang berjanggut segera menghentikan pidatonya dan berbicara kepada para “pengembik”. “Tunggu sebentar,” kata Salim. “Saya senang, para kambing pun tertarik mengikuti pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela tidak pada tempatnya. Sekarang saya persilakan kambing-kambing itu untuk keluar ruangan, untuk merumput dulu. Sesudah ini, saya segera akan menyampaikan pidato khusus untuk para kambing dengan bahasa yang mereka pahami.”
Merah padam wajah Sjahrir dan kawan-kawan menahan malu, tetapi mereka tetap di dalam ruangan, mendengarkan kelanjutan pidato Salim tanpa berani lagi mengganggu. Kendatipun Sjahrir dan kawan-kawan tidak dapat diyakinkan oleh pidato Salim, tetapi makin lama mereka makin tertarik mendengarkan pidato Salim.
Siapa suruh mengganggu lelaki berjanggut? (*)
*Penulis: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah mantan staf Moh Nastir dan staf Ahli Wapres Hamzah Haz)