Dihajar "Buzzer Bayaran", Anies Banjir Dukungan
Oleh: Tony Rosyid
Suatu hari seorang produser program berita dari salah satu TV mainstream menemui saya di sebuah cafe di bilangan Tangsel. Empat mata kami berbincang. Dia cerita bahwa TV dimana dia bekerja akan melakukan branding terhadap Ahok. Saat itu, Ahok mau keluar penjara. Menurutnya lagi, Ahok akan dimunculkan untuk melawan Anies. Kawan saya yang produser TV mainstream ini minta tanggapan saya.
Saya bilang, Ahok sudah habis masanya. Pertama, dia mantan terpidana kasus penistaan agama. Dan agama yang dinistakan itu dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Kedua, masalah keluarga yang terblok up media jadi isu yang sensitif buat kaum Hawa. Ketiga, dia kalah lawan Anies di Pilgub DKI. Sejarah biasanya berulang jika kompetitornya sama.
Jika Ahok dipaksakan muncul kembali dalam kontestasi politik, maka gelombang perlawanan akan bisa lebih besar dari aksi 212 dan Pilgub DKI 2017. Memori rakyat tak mudah lupa terhadap sesuatu yang sensitif, apalagi soal agama. Dan ini akan menguntungkan bagi Anies. Gegara Ahok, nama Anies berpotensi semakin naik dan banjir dukungan. Ahok seperti air yang menyiram pohon popularitas Anies yang sedang tumbuh sebagai rising star. Itu analisis yang saya kasih kepada teman saya, orang media TV itu.
Setelah Ahok keluar dari penjara, tak lama kemudian ia ke Jepang. Menikmati bulan madu dengan istri barunya. Cukup lama, hingga pilpres usai.
Saat ini, nama Ahok mulai muncul kembali. Tepatnya, dimunculkan. Hampir setiap hari ada di media on-line. Bahkan sempat viral di medsos tentang rencana talk show Ahok di televisi dimana temen saya kerja. Tapi, mendadak acara tersebut batal. Apakah karena ada sejumlah pakar hukum tata negara yang memberi pandangan bahwa Ahok tak bisa nyapres karena terganjal aturan. Diantaranya adalah Irma Putra Sidin, Zainal Arifin Mochtar dan bahkan Prof Mahfudz MD. Menurut UU No 7 Tahun 2017 pada pasal 227 huruf (k), salah satu syarat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden adalah "surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan *tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun penjara."*
Saya sempat berpikir apakah rencana membranding Ahok seperti yang disampaikan seorang produser program berita TV itu sedang dioperasikan? Dugaan saya mengatakan iya.
Bersamaan dengan upaya branding Ahok, setiap hari kita disuguhi berbagai propaganda buzzer yang demikian aktif menyerang Anies. Soal IMB reklamasi, sampai lawatan Anies keluar negeri. Selain ritual demo di balaikota yang terus dilakukan oleh segelintir orang. Tentu, itu semua sulit dibayangkan tanpa ada sutradara dan penyandang biaya di belakangnya. Saat ini tak ada kepala daerah yang terus dicari-cari kelemahan dan kesalahannya secara masif seperti Anies.
Getih getah dari bambu yang menghabiskan dana 550 juta pun digoreng setiap hari. Jika dibandingkan acaranya gubernur Jateng yang hanya beberapa jam menyambut kedatangan presiden dengan menelan anggaran biaya dari APBD 18 miliar, maka karya seni getih getah yang dianggarkan dari dana patungan sejumlah BUMD tentu tak ada apa-apanya. Apalagi ini untuk event internasional yaitu Asian Games. Tapi sejumlah media on-line dan buzzer begitu sangat atraktif menyoalnya. Sementara pembangunan rumah DP 0% misalnya, nyaris tak ada beritanya. Pergub 42/2019 tentang pembebasan pajak bagi rumah pensiunan, tenaga pendidik dan para pahlawan hampir tak tersentuh oleh televisi. 176 bus gratis yang disediakan Pemprov DKI untuk para pelajar juga tak diberitakan. Nasionalisasi pengelolaan air dan lahirnya pergub 132/2018 tentang hak pengelolaan apartemen yang diserahkan kepada penghuni juga sepertinya membuat media tertarik.
Anies sebagai gubernur DKI perlu dikritisi kebijakannya, itu setuju. Bahkan harus. Setiap penyelenggara negara mesti diawasi kebijakan, kinerja dan penggunaan anggaran. Tapi bukan berarti harus selalu dicari-cari kelemahannya. Diblock up isu-isu yang bisa memunculkan stigma negatif. Bahkan cenderung dihadirkan selalu "black campaign". Pilgub DKI sudah lama berlalu. Pilpres masih jauh, dan belum ada bakal calon bro. Jangan bikin gaduh! Biarlah para kepala daerah bekerja untuk bangsa ini. Kalau Ahok mau turun lagi di politik dan berminat nyapres atau nyawapres, berjuang dulu di regulasinya. Baru ketemu dengan Anies nanti di pilpres 2024.
Jika upaya menyerang Anies dianggap melampui batas dan tak lagi wajar, maka ini akan membangkitkan empati dan simpati rakyat kebanyakan kepada Anies. Tidak saja para pendukung Anies di DKI, tapi rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Rasa empati ini ketika bangkit justru bisa jadi serangan balik kepada Ahok. Persoalan bus Transjakarta yang mangkrak, kasus tanah BMW, rumah sakit Sumber Waras dan gurita pulau reklamasi yang sebagian telah menyerat anggota DPRD dan pejabat Pemprov akan jadi tema baru bagi rakyat untuk mengkait-kaitkannya dengan nama Ahok sebagai gubernur DKI saat itu.
Jika ada yang mencoba membanding Anies dengan Ahok, mesti fair. Pertama, soal clean government. Bagaimana pandangan BPK dan KPK terhadap dua gubernur ini? Kedua, berapa penghargaan yang diterima Ahok jika dibandingkan dengan yang diterima Anies? Ketiga, soal kenyamanan warga Jakarta. Lebih nyaman sewaktu dipimpin Ahok, atau ketika gubernurnya Anies? Terutama soal komunikasi publik. Banyak item kalau kita ingin membandingkan keduanya. Bahkan tak sedikit yang mempertanyakan, dan ini sangat mendasar: apa sih prestasi Ahok ketika memimpin Jakarta? Tentu ada. Setiap kepala daerah harus diapresiasi semua jasa dan kontribusinya terhadap negara. Tak boleh dilupakan oleh bangsa ini. Tetapi, tak perlu juga merasa paling hebat diantara gubernur yang lain.
Reklamasi, sumber waras, tanah BMW, mangkraknya bus Transjakarta, penggusuran kampung-kampung miskin, ledakan kemarahan dan kata-kata kasar, tentu itu semua bukanlah bagian dari prestasi.
Stop! Tak sehat kiranya mantan gubernur menyerang gubernur berikutnya. Begitu juga sebaliknya. Itu bukan tradisi dan tidak pernah menjadi bagian dari etika bangsa Indonesia. Kecuali jika itu sengaja dilakukan untuk mengganjal Anies maju di pilpres 2024. Inilah yang mulai dibaca dan dicurigai oleh rakyat.
Satu hal, dosis yang berlebihan untuk memusuhi dan membunuh karakter Anies di media akan membuat rakyat muak, dan akhirnya berpeluang menghadirkan gelombang besar pembelaan kepada Anies.
Jakarta, 22/7/2019