Era ‘Media Darling’ Petahana Telah Usai
Oleh: Nasrudin Joha*
Rilis hasil survei Litbang Kompas, menjadi penanda berakhirnya ‘era media darling’ Jokowi. Hubungan Jokowi dan media, bukan lagi hubungan pasangan yang sedang kasmaran, bukan lagi hubungan dua insan memadu kasih, bukan pula hubungan pasangan pengantin yang sedang berbulan madu. Hubungan Jokowi dengan media, sedang menuju perceraian sempurna.
Bagi sebagian kalangan, rilis survei Litbang Kompas adalah penanda Jokowi telah di talak tiga oleh media. Sementara, sebagian yang lain beranggapan statusnya masih talak satu, masih mungkin rujuk kembali.
Jika ditelisik redaksi talak tiga kompas (meskipun ada yang menghukumi masih talak satu) yang dirilis Litbang Kompas, itu substansinya pada dua hal :
Pertama, kompas secara progresif berani mengabarkan posisi elektabilitas Jokowi dibawah 50 %, tepatnya 49,2 %. Angka ini adalah angka horor bagi petahana. Umumnya, petahana itu aman jika tingkat elektabilitasnya di kisaran 60 %, atau paling tidak diatas 50 %.
Karena Pilpres dua pasangan, maka angka aman itu diatas 50 %. Angka 49,2 % betapapun hanya terpaut 0,8 % dari 50 % itu sangat berpengaruh signifikan. Sebab, memiliki angka 50 % belum cukup untuk memenangkan kompetisi, harus menang diatas angka lawan secara signifikan dengan sebaran suara representasi secara nasional.
Jelas angka 49,2 % itu angka horor bagi petahana. Dan ini, merupakan ungkapan talak dari kompas. Pada kondisi elektabilitas petahana sedang genting, seharusnya angka ini di kotak-kan. Kompas tidak akan dituntut publik karena tidak merilis survei. Survei itu bisa saja cukup diketahui kompas, atau cukup dijadikan rujukan petahana.
Tetapi kompas, tidak melakukan hal itu. Kompas mengedarkannya, mempublikasikannya, dan sontak saja angka-angka ini menyebabkan petahana meradang. Jelas, kompas sedang menjatuhkan talak kepada petahana. Kompas, tentu memilih untuk mempertahankan bisnis dan menjaga reputasi, ketimbang berjibaku mengutarakan cinta buta kepada petahana.
Walaupun ada beberapa anasir yang menyebutkan, kompas masih sedikit menyisakan cinta bagi petahana. Angka 49,2 % itu angka kompromi, agar petahana tidak terlampau parah shock nya. Angka sebenarnya ? Jauh lebih parah dari itu.
Kedua, selain mengabarkan elektabilitas petahana dibawah 50 %, tepatnya 49,2 %, angka angka survei Kompas juga mengabarkan trend. Pertama, tren penurunan elektabilitas Jokowi – MA. Kedua, trend kenaikan elektabilitas Prabowo – Sandi. Menurut kompas, Prabowo Sandi mampu naik peringkat ke level 37,4 % dengan jumlah Undecided Voters 13,4 %. sebelumya survei Prabowo – Sandi hanya di kisaran angka 20-25 %. Sementara Jokowi, ada yang merilis nyaris 60 %.
Artinya apa ? Adanya trend kenaikan elektabilitas Prabowo – Sandi yang bersamaan juga terjadi trend penurunan elektabilitas Jokowi – MA, menunjukan bahwa telah terjadi ‘migrasi pilihan’ dari yang sebelumnya memilih Jokowi – MA kemudian berpindah memilih Prabowo – Sandi. Adapun Undecided Voters sebesar 13,4 % menjadi ancaman besar bagi petahana juga jika angka ini juga turut bermigrasi memilih Prabowo – Sandi (trend ini yang tampak menguat, bukan golput tidak jadi memilih Jokowi).
Karena itu, hasil survei berbusa Deny JA yang menyebut ada potensi kekalahan Jokowi jika terjadi Golput signifikan yang urung memilih Jokowi sebagai sebab kekalahan. Dari rilis survei kompas ini, bisa dipahami bahwa pemilih Jokowi banyak yang bermigrasi memilih pasangan Prabowo – Sandi, bukan menjadi golput sebagaimana klaim survei-surveyan Deny JA.
Sebenarnya, kompas telah melayangkan talak satu itu pada saat debat Pilpres kedua. Pasca debat, kompas termasuk yang paling awal merilis data-data info grafis dalam bentuk meme yang membantah klaim Jokowi saat debat. Data Import, data kebakaran hutan dan lahan, data konflik agraria dan pembebasan lahan, adalah data yang disajikan untuk membantah ujaran hoax Jokowi.
Jadi, rilis survei Litbang kompas ini sebenarnya sudah talak tiga. Tinggal prosesi cerai saja yang belum diformalkan.
Saat ini, media sudah memposisikan Jokowi tidak lagi sebagai media darling. Jokowi, bukan lagi kekasih media yang apapun dari Jokowi ditampilkan media dengan pemberitaan wangi. Ibarat kentut saja, dulu Jokowi diceritakan wangi bak minyak kesturi.
Sekarang ? Lihatlah, bagaimana media koor mengabarkan berita ‘Jokowi Error’, koor mengabarkan ‘Jokowi Melawan’, dua judul berita ini fakta, tapi desain Framingnya sudah berbeda. Jokowi sudah diframing sebagai ‘putus hubungan, bukan lagi kekasih media’ yang dikabarkan aspek negatifnya.
Padahal, media bisa saja tidak mengabarkan pengakuan Jokowi error. Cukup mengabarkan hal positifnya, misalnya : dukungan rakyat di Bali yang membludak untuk petahana. Atau judul berita yang manis lainnya.
Jokowi sudah diperlakukan oleh media sebagai objek jurnalisme biasa, adagium ‘BAD NEWS IS GOOD NEWS’ sudah diterapkan kepada Jokowi. Media, tak peduli apakah keburukan Jokowi merontokkan elektabilitas Jokowi. Media, hanya berfokus pada tuntutan pembaca, tuntutan viewer, judul dan berita yang menarik itu yang mengundang sensasi. Terlepas, itu mengabarkan kebaikan atau keburukan.
Oh Pak Jokowi, masa mu telah berakhir. Media telah meninggalkamu, engkau akan kembali sepi dalam kesendirian. Kembali menepi, bertapa dan merenung dipinggir kali bengawan Solo.
*) Penulis adalah Pemerhati politik dan ruang publik