Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TNI ke OPM: Jangan Cengeng, Jangan Sebar Hoaks

TNI ke OPM: Jangan Cengeng, Jangan Sebar Hoaks
Pasukan gabungan TNI-Polri masih terus melakukan pengejaran dan pendorongan terhadap kelompok separatis Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) yang membunuh belasan pekerja di Kabupaten Nduga. Saat ini, pengejaran terus dilakukan dari darat.

Kapendam XVII/Cendrawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi, menyatakan, sejauh ini TNI-Polri belum menggunakan bom dan tembakan dari pesawat ataupun helikopter dalam mengejar kelompok separatis.

"Dalam operasi ini tidak ada penembakan dari pesawat. Hanya pendorongan manusianya, prajurit melaksanakan evakuasi. Tidak ada (menggunakan bom)," ujar Aidi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (7/12).

Menurut Aidi, penggunaan pesawat tempur belum diperlukan untuk saat ini. TNI, kata dia, masih menggunakan senjata ringan yang dibawa prajurit infanteri dalam mendorong mundur kelompok separatis di Distrik Yigi dan Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Ia mengatakan, kelompok separatis yang sebelumnya menantang TNI-Polri membuktikan ancaman mereka.

"Jangan cengeng kalau siap berhadapan dengan TNI. TNI punya Sukhoi, pesawat tempur, segala macam, tapi kita tidak gunakan itu," tuturnya.

Ia mengatakan, kabar yang menyebutkan TNI menggunakan bom dan senapan mesin dari pesawat ataupun helikopter adalah hoaks. Menurut Aidi, kabar tersebut digembar-gemborkan oleh KKSB untuk menarik simpati dari dunia internasional. Ia menyebut KKSB cengeng dengan mengeluarkan kabar tersebut.

"Itu hoaks yang sengaja digembar-gembrokan. Mereka minta belas kasihan ke pihak mana pun di dunia, supaya kita (TNI) dinyatakan melakukan planggaran HAM," jelasnya.

Aidi juga menerangkan, 16 jenazah korban pembunuhan oleh KKSB di Kabupaten Nduga, Papua, beberapa waktu lalu telah diberangkatkan ke rumah duka. "Ada 16 jenazah diberangkatkan ke Makassar. Semuanya ke Makassar. Kemudian, di Makassar nanti diturunkan 14 jenazah karena ada yang ke Gowa, ada yang ke Toraja, dan lainnya," ujarnya menjelaskan.

Pembunuhan di Nduga terjadi pada Ahad (2/12) di Distrik Yigi. Peristiwa itu bermula dari penculikan 25 pekerja PT Istaka Karya yang sedang rehat dari membangun jembatan di Kali Aworak dan Kali Yigi. Jembatan itu merupakan rangkaian jalur Trans-Papua Segmen Lima yang rencananya merentang dari Wamena hingga Nduga.

Merujuk keterangan TNI-Polri dari keterangan saksi, para pekerja yang diculik kemudian diikat tangannya dan dieksekusi di Gunung Kabo. Sebelas pekerja berhasil melarikan diri, tetapi sebagian di antara mereka tertangkap dan kemudian dibunuh. Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengklaim bertanggung jawab atas peristiwa itu.

Mereka berdalih, melakukan teror tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Nduga. Tak lama setelah pembunuhan di Distrik Yigi, kelompok separatis juga menyerang pos TNI di Distrik Mbua dan mengakibatkan gugurnya seorang prajurit TNI.

Selepas penyerangan tersebut, sebanyak 153 personel tim gabungan TIN-Polri diterjunkan ke Distrik Yal yang disebut menjadi tempat persembunyian kelompok separatis. Meski mendapat perlawanan, evakuasi sebagian jenazah sudah berhasil dilakukan dan pasukan TPN/OPM terdorong dari lokasi tersebut. Pihak kepolisian memperkirakan kelompok yang dipimpin Eiagus Kogoya itu beranggotakan 50 orang yang dibekali senjata modern maupun tradisional.

Selain tim gabungan, TNI-Polri juga dibantu Batalion 756/WMS. Sementara, helikopter-helikopter TNI AD juga digunakan guna mengangkut personel dan mengevakuasi korban dan penyintas.

Meski begitu, pihak TPNPB melansir pada Jumat (7/12) bahwa helikopter-helikopter TNI tersebut juga digunakan melakukan serangan udara. Berondongan senjata mesin dan bom-bom diklaim TPNPB dilontarkan dari helikopter. Tembakan senjata mesin dari helikopter, menurut klaim TPNPB, dilepaskan empat helikopter.

Sementara, Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom menyatakan, pihaknya siap bernegosiasi dengan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan, mereka akan menuntut pembicaraan damai seperti di Aceh yang menjadikan daerah itu semiotonomi atau referendum kemerdekaan sebenarnya layaknya di Timor Leste.

Kapolda Papua Irjen Martuani Sormin mengatakan, Nduga merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Papua yang sebagian warganya hingga kini menolak kehadiran TNI dan Polri. “Tapi, kami pastikan bahwa yang sebagian kecil itu hanyalah oknum, bukan masyarakat yang menolak kehadiran TNI dan Polri,” kata Irjen Sormin.

Operasi Militer

Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) menyarankan agar pemerintah melakukan operasi militer secara terpadu di wilayah Papua, untuk menangani masalah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di wilayah tersebut.

"Menangani masalah di Papua, kami menyarankan agar para pemangku kepentingan menggunakan hati dan masyarakat, termasuk menggunakan operasi militer secara terpadu," kata Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri dalam konferensi pers di Gedung PPAD, Jakarta, Jumat (7/12).

Pernyataan ini menyikapi tewasnya puluhan pekerja di wilayah Nduga, Papua pada Ahad (2/12) malam.

Kiki mengatakan selama ini operasi militer yang pernah dilakukan di Indonesia seperti di Aceh dan penumpasan DII/ TII, tidak pernah TNI menyebutnya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Namun dia menyarankan, karena akar masalah di Papua adalah persoalan keadilan sosial maka operasi militer tersebut harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

"Jangan dikira operasi militer hanya tembak-tembakan di lapangan ya, karena menumpas mereka bukan hanya fisik. Beberapa pengalaman TNI menumpas gerombolan bersenjata tidak selesai ketika kelompok bersenjata itu tewas, namun selesai di meja perundingan," jelas Kiki.

Selain itu, Kiki menilai terkait Gerombolan Separatis Bersenjata Organisasi Papua Merdeka (GSB-OPM), sepatutnya tidak lagi disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata karena tujuan mereka sudah jelas yaitu memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mereka sudah terorganisasi secara militer dan sering melakukan aksi-aksi kekerasan bersenjata sehingga kehadirannya sudah dapat dikategorikan sebagai pemberontakan bersenjata terhadap NKRI.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menuturkan, pasukan TPN/OPM memiliki dukungan di kalangan masyarakat. Para anggota kelompok separatis kerap juga merupakan anggota masyarakat adat. “Jadi, eksistensi Republik di masyarakat Papua memang harus dipertanyakan,” kata dia.

Hal tersebut dipicu sejumlah hal, seperti ketakutan terhadap TNI hingga pembangunan yang dinilai tak berpihak pada warga tempatan. Ia mencontohkan, pembangunan Trans-Papua yang sejauh ini kebanyakan dimanfaatkan pendatang yang lebih memiliki modal ketimbang warga lokal.

Operasi militer, kata Cahyo, bisa menimbulkan trauma dan ketakpercayaan yang semakin menjauhkan warga Papua dari Indonesia. Solusi yang bisa dilakukan, kata Cahyo, adalah mengaktifkan dialog lintas sektoral yang sempat digagas Presiden Joko Widodo setahun lalu, tetapi belum ada tindak lanjutnya.

Sumber: Antara