Kumandang Azan Menyentuh Relung Hati Sarah Price
"Menjadi seorang jurnalis membuat saya belajar tentang Islam," tutur jurnalis bernama lengkap Sarah Price itu mengawali kisah perkenalannya dengan Islam. Bagi perempuan asal Australia ini, hal terbaik menjadi jurnalis adalah kesempatan menciptakan perubahan bagi dunia, memberikan suara bagi orang yang lemah, serta mengenal manusia dan dunia di sekitarnya.
Islamis, jihadis, ISIS, larangan mengemudi untuk perempuan di Arab Saudi, burqa, dan peristiwa 11 September, kosakata-kosakata itu mengintai dalam setiap diskusi tentang Islam.
Untuk sebuah kata yang berarti penyerahan damai kepada Allah, kata Sarah, Islam adalah agama yang terhubung pada beberapa konotasi negatif dan sering menjadi pihak yang disalahkan di media massa, lanjut dia.
Sarah mengaku orang sering bingung ketika berjumpa dengannya. Beberapa orang Australia bertanya, dari negara mana dia berasal? Mereka terkejut ketika mendengar kata Australia. Australia dan Muslimah? Kombinasi itu tidak terpikirkan bagi sebagian orang.
Konversi Sarah menjadi Muslim tidak mudah. Dia berulang kali diselidiki, ditolak, dipecat dari pekerjaan, kehilangan teman-teman, dan mendapat tantangan berat dari keluarga. Mereka sulit menerima perubahan Sarah. Ia mendapat banyak komentar yang keras dan kasar tentang perpindahan agamanya. Beberapa orang menganggap dia rela dikonversi demi seorang pria.
Taat Sebelum masuk Islam, Sarah Price adalah pemeluk Kristen yang sangat taat. Sarah mengambil studi pascasarjana jurusan jurnalistik di Monash University, Australia.
Sarah mengaku, pengalamannya sebagai seorang Kristen adalah titik tolak perjalanan keimanannya. "Tanpa itu, saya tidak akan menjadi Muslimah," kata dia. Cintanya kepada Yesus benar- benar membuat dia memilih Islam.
Perjalanan Sarah ke Malaysia mengubah keteguhan iman itu. Perjalanan saya ke Malaysia menjadi dasar konversi saya ke Islam. Saya pergi ke sana setelah memutuskan mengikuti pertukaran mahasiswa. Saya tidak membayangkan akan mengalami petualangan gila yang mengubah hidup saya, kenang gadis itu.
Negeri jiran itu membuka mata Sarah tentang Islam. Perjalanan itu membuat Sarah keluar dari zona nyaman. Gadis asal Gippsland itu terpapar hal-hal yang dia belum pernah kenal di kota kecilnya.
Sebelum ke Malaysia, dia tidak tahu apa- apa tentang Islam. Sarah, seingat dia, belum pernah bertemu seorang Muslim sebelum ke Malaysia. Yang ada di benaknya, Muslim begitu jauh, jauh dari peradaban. Dia juga mengira Muslimah tertindas. Mereka tidak bisa pergi ke mana pun tanpa suami.
Mereka tidak bisa berkarier dan harus memakai pakaian hitam sepanjang waktu. Gambaran itu hancur ketika saya pergi ke Malaysia, kata Sarah. Dia menemu kan gadis-gadis cantik Muslimah Asia Tenggara yang mengenakan pakaian dan jilbab warna-warni. Dia menjalin per temanan dengan banyak Muslimah yang bi- sa pergi ke universitas dan merajut karier.
Beberapa mengenakan kerudung, meski yang lain tidak. Mereka semua tampak mencintai agama mereka. Islam dengan cepat menjadi sebuah agama yang ingin Sarah pelajari.
Mata dan pikirannya terbuka ketika, sebagai mahasiswa jurnalistik, dia harus membuat sebuah artikel tentang hak-hak Muslimah. Itulah awal dari segala nya. Pikirannya tetiba penuh dengan pengetahuan tentang Islam dan fakta bahwa perempuan mempunyai hak-hak istimewa dalam Islam.
Taat Sebelum masuk Islam, Sarah Price adalah pemeluk Kristen yang sangat taat. Sarah mengambil studi pascasarjana jurusan jurnalistik di Monash University, Australia.
Sarah mengaku, pengalamannya sebagai seorang Kristen adalah titik tolak perjalanan keimanannya. "Tanpa itu, saya tidak akan menjadi Muslimah," kata dia. Cintanya kepada Yesus benar- benar membuat dia memilih Islam.
Perjalanan Sarah ke Malaysia mengubah keteguhan iman itu. Perjalanan saya ke Malaysia menjadi dasar konversi saya ke Islam. Saya pergi ke sana setelah memutuskan mengikuti pertukaran mahasiswa. Saya tidak membayangkan akan mengalami petualangan gila yang mengubah hidup saya, kenang gadis itu.
Negeri jiran itu membuka mata Sarah tentang Islam. Perjalanan itu membuat Sarah keluar dari zona nyaman. Gadis asal Gippsland itu terpapar hal-hal yang dia belum pernah kenal di kota kecilnya.
Sebelum ke Malaysia, dia tidak tahu apa- apa tentang Islam. Sarah, seingat dia, belum pernah bertemu seorang Muslim sebelum ke Malaysia. Yang ada di benaknya, Muslim begitu jauh, jauh dari peradaban. Dia juga mengira Muslimah tertindas. Mereka tidak bisa pergi ke mana pun tanpa suami.
Mereka tidak bisa berkarier dan harus memakai pakaian hitam sepanjang waktu. Gambaran itu hancur ketika saya pergi ke Malaysia, kata Sarah. Dia menemu kan gadis-gadis cantik Muslimah Asia Tenggara yang mengenakan pakaian dan jilbab warna-warni. Dia menjalin per temanan dengan banyak Muslimah yang bi- sa pergi ke universitas dan merajut karier.
Beberapa mengenakan kerudung, meski yang lain tidak. Mereka semua tampak mencintai agama mereka. Islam dengan cepat menjadi sebuah agama yang ingin Sarah pelajari.
Mata dan pikirannya terbuka ketika, sebagai mahasiswa jurnalistik, dia harus membuat sebuah artikel tentang hak-hak Muslimah. Itulah awal dari segala nya. Pikirannya tetiba penuh dengan pengetahuan tentang Islam dan fakta bahwa perempuan mempunyai hak-hak istimewa dalam Islam.
Ketertarikan Sarah pada Islam kian mendapat momentum kala gadis ini berkesempatan mewawancarai Marina Mahathir. Marina adalah putri mantan perdana menteri Malaysia, Tun Mahathir Mohammad, penyabet gelar UN Person of the Year 2010, dan tokoh SIS (Sisters in Islam), penulis, sekaligus pendukung hak-hak perempuan.
Pertemuan Sarah dengan Marina memengaruhi pandangannya tentang Muslimah dan Islam secara umum. Saya ma sih ingat bagaimana telapak tangan sa ya berkeringat. Ini wawancara pertama saya dengan orang ternama, kisah Sarah ekspresif.
Sikap Marina yang tenang namun tegas membuat Sarah terkesan. Wawancaranya berlangsung lancar. Marina menjawab begitu banyak pertanyaan yang dia simpan sejak tiba di Malaysia.
Dia merasa mendapat pemahaman baru yang jauh lebih besar daripada yang pernah dia pikirkan. Itu salah satu wawancara terpenting yang mengubah hidup saya, tambah Sarah. Keyakinannya pada Islam kian mantap.
Sarah sepenuhnya sadar, jalan yang benar tidak selalu mudah. Terlepas dari betapa sulitnya masa-masa itu, Islam membawa rasa damai yang luar biasa dalam hidupnya. Itu semua membuat Sarah bahagia.
"Yang bisa saya katakan, saya menemukan kedamaian bersama Allah. Saya tahu saya tidak pernah sendiri dalam setiap sujud saya. Benar bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,"kesan perempuan Australia itu.
Sumber: Oase Republika